Pengikut

Sabtu, 02 Januari 2016

PRINSIP POKOK NEGARA HUKUM

PRINSIP POKOK NEGARA HUKUM

Dua belas prinsip pokok Negara Hukum yang berlaku di zaman sekarang ini merupakan pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu negara sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sebenarnya. Di samping itu, jika konsep Negara Hukum itu dikaitkan pula dengan paham negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa seperti Indonesia, maka keduabelas prinsip tersebut patut pula ditambah satu prinsip lagi, yaitu: Prinsip Berke-Tuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip kesebelas gagasan Negara Hukum modern
1.      Supremasi Hukum (Supremacy of Law):
Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Pengakuan normative atas supremasi hukum tercermin dalam perumusan hukum dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan empirik tercermin dalam perilaku sebagian terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu memang ‘supreme’. Bahkan, dalam republik yang menganut sistem presidential yang bersifat murni, konstitusi itulah yang sebenarnya lebih tepat untuk disebut sebagai ‘kepala negara’. Itu sebabnya, dalam sistem pemerintahan presidential, tidak dikenal pembedaan antara kepala Negara dan kepala pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.

2.      Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law):
Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative actions’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan perlakuan khusus melalui ‘affirmative actions’ yang tidak termasuk pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing atau kelompok masyarakat hukum adapt tertentu yang kondisinya terbelakang. Sedangkan kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang bukan bersifat diskriminatif, misalnya, adalah kaum wanita ataupun anak-anak terlantar.

3.      Asas Legalitas (Due Process of Law):
Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau ‘rules and procedures’ (regels). Prinsip normatif demikian nampaknya sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Karena itu, untuk menjamin ruang gerak para pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui pula adanya prinsip ‘frijsermessen’ yang memungkinkan para pejabat administrasi negara mengembangkan dan menetapkan sendiri ‘beleid-regels’ atau ‘policy rules’ yang berlaku internal secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.

4.      Pembatasan Kekuasaan:
Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan itu ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical. Dengan demikian, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.

5.      Organ-Organ Eksekutif Yang Bersifat Independen:
Dalam rangka pembatasan kekuasaan tersebut, tidak lagi cukup bahwa kekuasaan Pemerintah dipisah dan dibagi-bagikan ke dalam beberapa organ seperti selama ini. Untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan demokratisasi, terutama sejak akhir abad ke 20, kekuasaan pemerintahan juga semakin dikurangi dengan dibentuknya berbagai ‘independent body’ seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan bahkan lembaga tradisional yang sebelumnya melekat sebagai bagian tak terpisahkan dari fungsi eksekutif, juga dikembangkan menjadi independent seperti Bank Central, Organisasi Tentara, Kepolisian, dan bahkan di beberapa Negara juga Kejaksaan dibuat independent, sehingga dalam menjalankan tugas utamanya tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik memereka yang menduduki jabatan politik di pemerintahan. Di hamper semua negara demokrasi, gejala pertumbuhan badan-badan independen semacam itu merupakan sesuatu yang niscaya. Di Amerika Serikat sendiri, lebih dari 30-an badan semacam ini dikembangkan selama abad ke 20, dan biasa disebut sebagai ‘independent auxiliary state organs’ (lembaga-lembaga negara yang independent dan bersifat penunjang). Beberapa di antaranya diberi kewenangan regulatoris sehingga biasa disebut sebagai ‘self regulatory body’. Di Indonesia, dapat disebut beberapa di antaranya, misalnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK), dan sebagainya.

6.      Peradilan Bebas dan Tidak Memihak:
Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary). Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap Negara Hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislative ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai ‘mulut’ undang-undang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

7.      Peradilan Tata Usaha Negara:
Meskipun peradilan tata usaha negara juga menyangkut prinsip peradilan bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama Negara Hukum tetap perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap Negara Hukum, harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi Negara dan dijalankannya putusan hakim tata usaha negara (administrative court) oleh pejabat administrasi negara. Pengadilan Tata Usaha Negara ini penting disebut tersendiri, karena dialah yang menjamin agar warga negara tidak didzalimi oleh keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa. Jika hal itu terjadi, maka harus ada pengadilan yang menyelesaikan tuntutan keadilan itu bagi warga Negara, dan harus ada jaminan bahwa putusan hakim tata usaha Negara itu benar-benar djalankan oleh para pejabat tata usaha Negara yang bersangkutan. Sudah tentu, keberadaan hakim peradilan tata usaha negara itu sendiri harus pula dijamin bebas dan tidak memihak sesuai prinsip ‘independent and impartial judiciary’ tersebut di atas.

8.      Peradilan Tata Negara (Constitutional Court):
Di samping adanya Pengadilan Administrasi Negara atau Pengadilan Tata Usaha Negara (verwaltungsgericht), di lingkungan negara-negara yang menganut tradisi ‘civil law’, sejak tahun 1920, juga berkembang adanya Pengadilan Tata Negara (verfassungsgericht). Jika pengadilan tata usaha negara dapat disebut sebagai fenomena abad ke-19 dan karena itu dianggap sebagai salah satu ciri penting konsep ‘rechtsstaat’ abad ke-19, maka dengan berkembangnya pengadilan tata negara pada abad ke-20, adalah wajar pula jika keberadaannya organ baru ini, baik keberadaan kelembagaannya yang berdiri sendiri ataupun setidaknya dari segi fungsinya sebagai pengawal konstitusi sebagaimana yang dikaitkan dengan fungsi Mahkamah Agung Amerika Serikat, juga sebagai ciri konsep negara hukum modern. Jika suatu negara mengklaim menganut paham Negara Hukum, tetapi tidak tersedia mekanisme untuk mengontrol konstitusionalitas pembuatan undang-undang ataupun konstitusionalitas penyelenggaraan demokrasi, maka negara yang bersangkutan tidak sempurna untuk disebut sebagai Negara Hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy).

9.      Perlindungan Hak Asasi Manusia:
Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu Negara Hukum yang demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya Negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu Negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. Karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia itu merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap Negara yang disebut sebagai Negara Hukum. Jika dalam suatu Negara, hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka Negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sesungguhnya.

10.  Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat):
Dalam setiap Negara Hukum, dianut dan dipraktekkan adanya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peranserta masyarakat dalam setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan. Dengan adanya peranserta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan tersebut, setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan dapat diharapkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena hukum memang tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa kecuali. Artinya, negara hukum (rechtsstaat) yang dikembangkan bukanlah ‘absolute rechtsstaat’, melainkan ‘democratische rechtsstaat’ atau negara hukum yang demokratis. Dengan perkataan lain, dalam setiap Negara Hukum yang bersifat nomokratis harus dijamin adanya demokrasi, sebagaimana di dalam setiap Negara Demokrasi harus dijamin penyelenggaraannya berdasar atas hukum.

11.  Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Kesejahteraan (Welfare Rechtsstaat):
Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalaui gagasan negara hukum (nomocrasy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Negara Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan negara Indonesia tersebut. Dengan demikian, pembangunan negara Indonesia tidak akan terjebak menjadi sekedar ‘rule-driven’, melainkan tetap ‘mission driven’, tetapi ‘mission driven’ yang tetap didasarkan atas aturan.

12.  Transparansi dan Kontrol Sosial:
Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh peranserta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya partisipasi langsung ini penting karena sistem perwakilan rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Karena itulah, prinsip ‘representation in ideas’ dibedakan dari ‘representation in presence’, karena perwakilan fisik saja belum tentu mencerminkan keterwakilan gagasan atau aspirasi. Demikian pula dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh aparatur kepolisian, kejaksaan, pengacara, hakim, dan pejabat lembaga pemasyarakatan, semuanya memerlukan kontrol sosial agar dapat bekerja dengan efektif, efisien serta menjamin keadilan dan kebenaran.

13.  Berke-Tuhanan Yang Maha Esa:
Negara modern biasanya mengaitkan diri dengan paham sekularisme yang memisahkan diri dari urusan-urusan keagamaan dan ketuhanan sama sekali. Negara modern mengaku (claim) mampu bersikap netral dalam urusan-urusan agama dan keagamaan[2]. Karena itu, dimensi-dimensi ketuhanan lazimnya berada di luar jangkauan kajian kenegaraan. Akan tetapi, Negara Hukum Indonesia adalah negara hukum yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa. Karena setiap produk hukum Indonesia di samping harus dibuat dan ditetapkan secara demokratis serta ditegakkan tanpa melanggar hak-hak asasi manusia, juga mempersyaratkan adanya persesuaiannya dengan ataupun terbebas dari kemungkinan bertentangan dengan norma-norma agama yang diyakini oleh para subjek warganegara Indonesia. Hukum Indonesia juga tidak boleh ditegakkan dengan semena-mena dengan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam konteks kehidupan umat beragama dalam negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.



[1] Bandingkan dengan Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta, 1992.
[2] Amerika Serikat juga mengklaim hal yang sama, tetapi seperti dikemukakan oleh Alexis de Tocqueville, buku karyanya Democracy in America, A Vintage Book (edisi 1956), aspirasi keagamaan sangat berpengaruh dan menyumbang banyak dalam pembentukan opini dan aspirasi politik dan bahkan institusi politik di Amerika Serikat. Lihat laporan de Tocqueville tersebut pada halaman-halaman 310 – 325.

DINAMIKA KETATANEGARAAN DI INDONESIA



BAB I
PENDAHULUAN
A.           LATAR BELAKANG
Perkembangan ketatanegaraan dapat di bagi menjadi beberapa periode,sejak masa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai sekarang. Dalam beberapa periode tersebut, ketatanegaraan Indonesia mengalami pasang surut seiring dengan perjalanan waktu. Hal tersebut selain dikarenakan kemerdekaan kita yang mendadak sehingga masih kurangnya persiapan, juga akibat dari kembalinya belanda yang ingin menjajah dan menguasai Indonesia lagi.
Sebagai bentuk hukum dasar tertulis UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi di Indonesia, artinya segala peraturan yang ada dalam ketatanegaraan haruslah bersumber pada UUD 1945. Sehingga setiap peraturan yang tidak sesuai dengan UUD, maka peraturan terebut dihapuskan. Tetapi, ketatanegaraan Indonesia masih berubah-ubah seiring dengan perubahan konstitusi yang menjadi landasan operasional keberlangsungan berbangsa dan bernegara itu sendiri. Dalam perubahan tersebut indonesia mengalami beberapa fase penting dalam ketatanegaraan Indonesia yaitu pada masa UUD 1945 di awal kemerdekaan, UUD RIS dan UUDS.
B.            RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana Latar belakang UUD 1945 ?
2.      Bagaimana pemberlakuan UUD 1945 ?
3.      Bagaimana dinamika perubahan UUD dari tahun 1945-sekarang ?


BAB II
PEMBAHASAN
A.           Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI 1945) pada Pasal 1 Ayat (2) mengamanatkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Selain itu, berdasarkan Pancasila maka dianut pula prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Sehingga untuk melaksanakan kedaulatan rakyat berdasarkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, perlu diwujudkan lembaga perwakilan rakyat dan lembaga perwakilan daerah yang mampu mengejewantahkan nilai-nilai demokrasi serta dapat menyerap dan memperjuangakan aspirasi rakyat, termasuk kepentingan daerah, agar sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara.[1]
Amandemen UUD 1945 dilakukan sebanyak 4 tahap pada periode 1999-2002. Perubahan ini akhirnya berimplikasi juga terhadap lembaga perwakilan di Indonesia. Sehingga pada era reformasi, terjadi masa transisi menuju Indonesia baru dengan sistem ketatanegaraan yang sama sekali berubah secara fundamental dari sistem ketatanegaraan sebelumnya berdasarkan UUD 1945 yang asali. Salah satu gagasan fundamental yang sudah diadopsi yaitu anutan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) dengan segala implikasinya sebagai ganti dari prinsip pembagian kekuasaan (distribution of  Power) yang berlaku sebelumnya dalam sistematika UUD 1945. Jika sebelumnya ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 bahwa kekuasaan untuk membentuk perundang-undangan berada di tangan Presiden dan dilakukan dengan persetujuan DPR, maka dalam perubahan pertama dan kedua UUD 1945 Pasal 20 ayat (1) kekuasaan untuk membentuk undang-undang (UU) itu ditegaskan berada ditangan DPR, sedangkan Presiden menurut Pasal 5 ayat (1) yang baru ditentukan hanya berhak mengajukan rancangan Undang-undang (RUU) kepada DPR. Perubahan ini menegaskan terjadinya pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR, dengan konsekuensi berubah pula pengertian tentang anutan prinsip pembagian kekuasaan menjadi pemisahan kekuasaan seperti dipahami selama ini.[2]
Latar Belakang Amandemen UUD 1945:
1.    Undang-Undang Dasar 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berkaitan pada tidak terjadinya checks and balances pada institusi-institusi ketatanegaraan.
2.    Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD  1945 adalah executive heavy yaitu kekuasaan dominan berada di tangan  Presiden dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif (antara lain: memberi grasi, amnesty, abolisi dan rehabilitasi) dan kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasaan membentuk undang-undang.
3.    UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” dan “fleksibel” sehingga menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir), misalnya Pasal 7 UUD 1945 (sebelum diamandemen).
4.    UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang. Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal penting sesuai kehendaknya dalam undang-undang.[3]
Tuntutan reformasi melalui perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 telah mengakibatkan terjadinya perubahan dan sistemketata negaraan Indonesia. Salah satu perubahan tersebut terjadi pada kelembagaan negara dengan bertambahnya lembaga Dewan Perwakilan Daerah (selanjutnya disebut DPD). Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang dilaksanakan pada tahun 2001 dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, secara yuridis sebagai dasar kehadiran lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia yaitu Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia yang diatur dalam Pasal 22C dan Pasal 22D. Sebagai tindaklanjut dari Pasal 22C dan Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengaturan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan DPD diatur dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Setelah perubahan Keempat UUD 1945, keberadaan MPR yang selama ini disebut sebagai lembaga tertinggi negara itu memang telah mengalami perubahan yang sangat mendasar, akan tetapi keberadaannya tetap ada sehingga sistem yang kita anut tidak dapat disebut sistem bikameral ataupun satu kamar, melainkan sistem tiga kamar (trikameralisme), perubahan-perubahan mendasar dalam kerangka struktur parlemen Indonesia itu memang telah terjadi mengenai hal-hal sebagai berikut.
Pertama, susunan keanggotaan MPR berubah secara struktural karena dihapuskannya keberadaan Utusan Golongan yang mencerminkan prinsip perwakilan fungsional (functional representation) dari unsur ke anggotaan MPR. Dengan demikian, anggota MPR hanya terdiri atas  anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mencerminkan prinsip perwakilan daerah (regional representatif).
Kedua, bersamaan dengan perubahan yang bersifat struktural tersebut, fungsi MPR juga mengalami perubahan mendasar (perubahan  fungsional). Majelis ini tidak lagi berfungsi sebagai ‘supreme body’ yang memilik kewenangan tertinggi dan tanpa kontrol, dan karena itu kewenangannyapun mengalami perubahan-perubahan mendasar.[4]
Sebelum diadakannya perubahan UUD, MPR memiliki 6 (enam) kewenangan yaitu:
(a).         menetapkan Undang-Undang Dasar
(b).         Mengubah Undang-Undang Dasar,
(c).         menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara,
(d).        memilih Presiden dan Wakil Presiden,
(e).         meminta dan menilai pertanggungjawaban Presiden,
(f).          memberihentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Sekarang, setelah diadakannya perubahan UUD 1945, kewenangan MPR berubah menjadi:
(a).         menetapkan Undang-Undang Dasar dan/atau Perubahan UUD,
(b).        melantik Presiden dan Wakil Presiden,
(c).         memberihentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden,
(d).        menetapkan Presiden dan/atau Wakil Presiden pengganti sampai terpilihnya Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana messtinya.



Ketiga, Diadopsinya prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) secara tegas antara fungsi legislatif dan eksekutif dalam perubahan pasal 5 ayat (1) juncto pasal 20 ayat (1) dalam perubahan pertama UUD 1945 yang dipertegas lagi dengan tambahan asal 20 ayat (5) perubahan kedua UUD 1945.
Dalam perubahan-perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan membentuk Undang-Undang berada di tangan DPR, meskipun Presiden sebagai kepala pemerintahan eksekutif tetap diakui haknya untuk mengajukan sesuatu rancangan Undang-Undang. Dengan perubahan ini berarti UUD 1945 tidak lagi menganut sistem MPR berdasarkan prinsip ‘Supremasi parlemen’ dan sistem pembagian kekuasaan (distribution of power) oleh lembaga tertinggi MPR ke lembaga-lembaga Negara di bawahnya.
Keempat, diadopsinya prinsip pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam satu paket secara langsung oleh rakyat dalam ketentuan pasal 6A ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945 yang sekaligus dimaksud untuk memperkuat dan mempertegas anutan sistem presidensial dalam UUD 1945.
Dengan sistem pemilihan langsung oleh rakyat itu, maka konsep dan sistem pertanggung jawaban Presiden tidak lagi dilakukan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi juga langsung kepada rakyat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam hubungannya dengan pengorganisasian kedaulatan rakyat, kedaulattan yang ada ditangan rakyat itu, sepanjang menyangkut fungsi legislatif, dilakukan oleh MPR yang terdiri atas dua kamar dewan, sedangkan dalam bidang eksekutif dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden sebagai satu paket kepemimpinan eksekutif  yang dipilih langsung oleh rakyat.
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dulu dikenal sebagai lembaga tertinggi negara , dimasa depan berubah menjadi nama dari lembaga perwakilan rakyat Indonesia yang terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah yang secara bersama-sama kewenangannya sederajat dengan Presiden dan Wakil Presiden, serta dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
B.            Masa Berlakunya UUD 1945 (Agustus 1945 - Desember 1948)
Pada masa awal kemerdekaan, pembagian kekuasaan belum berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan belum terbentuknya lembaga-lembaga negara seperti yang di kehendaki UUD 1945. Mengingat keadaan pada masa awal kemerdekaan negara kita masih berada masa peralihan hukum pemerintahan, pelaksanaan ketatanegaraan seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945 belum dapat sepenuhnya dilasanakan. Namun, penjelasan UUD 1945 telah mengantisipasi keadaan itu. Menurut Pasal IV Aturan peralihan, bahwa sebelum MPR, DPR , dan DPA di bentuk menurut UUD 1945, segala kekuasaan negara dijalankan oleh presiden dengan bantuan sebuah komite nasional.
Pada awal kemerdekaan Indonesia dipimpin oleh Presiden dan wakil presiden, sejak tanggal 18 Agustus 1945 sampai 16 oktober 1945 segala kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif ) dijalankan oleh satu badan atau lembaga, yaitu presiden dibantu oleh KNIP. Sehingga pada masa itu dapat dikatakan belum adanya pembagian kekuasaan pembagian kekuasaan. Oleh karena belum terbentuknya MPR dan DPR, oleh karena itu wakil presiden mengeluarkan Maklumat Wapres No. X pada tanggal 16 Oktober 1945 yang berisi bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif. Melaui maklumat ini telah terjadi pembagian kekuasaan, meskipun presiden masih memegang sebagian besar kekuasaan namun, kewenangan legislatif telah diberikan pada KNIP.
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP): 1945-1949 atau KNIP merupakan badan pembantu Presiden yang pembentukannya di dasarkan pada keputusan sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18 Agustus 1945. KNIP merupakan pengembangan dari Komite Nasional Indonesia( KNI) dilantik oleh Presiden Soekarno pada tanggal 29 Agustus 1945 yang beranggotakan 137 orang (terdiri dari tokoh masyarakat dan anggota PPKI). KNIP yang semula berfungsi sebagai pembantu presiden, kemudian berubah melaksanakan tugas legislatif berdasarkan Maklumat Wapres No. X yang berbunyi : “Bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat, sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis Besar Haluan Negara, serta menyetujui bahwa pekerjaan KNI Pusat sehari-hari, berhubungan dengan gentingnya keadaan, dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih di antara mereka dan yang bertanggung jawab kepada KNIP. Sejak proklamasi kemerdekaan sampai pulihnya kembali NKRI tanggal 17 Agustus 1950, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia dan Komite Nasional sendiri telah menyetujui 133 Rancangan Undang-undang, diantaranya yang terpenting adalah Undang-Undang No.11 tahun 1949 tentang pengesahan Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
C.           Periode Konstitusi Republik Indonesia Serikat ( RIS ) 1949
Akibat dari Belanda berusaha memecah belah bangsa Indonesia dengan cara membentuk negaranegara ”boneka” seperti Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, dan Negara Jawa Timur di dalam negara RepubIik Indonesia. Bahkan, kemudian Belanda melakukan agresi Militer I pada tahun 1947 dan Agresi Militer II atas kota Yogyakarta pada tahun 1948. Dan untuk menyelesaikan pertikaian Belanda dengan RepubIik Indonesia, Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) turun tangan dengan menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag (Belanda) tanggal 23 Agustus – 2 November 1949. Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil dari RepubIik Indonesia, BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg, yaitu gabungan negara-negara boneka yang dibentuk Belanda), dan Belanda serta sebuah komisi PBB untuk Indonesia.


KMB tersebut menghasilkan tiga buah persetujuan pokok yaitu:
1.    Didirikannya Negara Rebublik Indonesia Serikat
2.    Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat
3.    Didirikan uni antara RIS dengan Kerajaan Belanda.
Sehingga wilayah negara Indonesia menyusut menjadi Pulau Jawa dan Sumatra saja, seta Ibukota berpindah ke Jogjakarta, dan Indonesia masuk sebagai salah satu negara boneka belanda sehingga Republik Indonesia berganti menjadi Republik Indonesia Serikat.
Dengan perubahan tersebut maka sumber hukum kita yang tadinya UUD 1945 berubah atau berganti menjadi UUD RIS dan sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem pemerintahan parlementer. Pada sistem ini, Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat ), dan apabila pertanggungjawaban itu tidak diterima oleh Dewan Perwakilam Rakyat maka dapat menyababkan bubarnya kabinet. Jadi, kedudukan kabinet bergantung kepada DPR.
Sistem pemerintahan parlementer mempunyai ciri-ciri pokok berikut ini:
a.    Perdana menteri bersama para menteri baik secara bersama ataupun sendiri-sendiri bertangggung jawab kepada parlemen.
b.    Pembentukan kabinet didasarkan pada kekuatan-kekuatan yang ada dalam parlemen.
c.    Para anggota kabinet mungkin seluruhnya atau sebagian mencerminkan kekuatan yang ada dalam parlemen.
d.   Kabinet dapat dijatuhkan setiap saat oleh parlemen dan sebaliknya kepala negara dengan saran perdana menteri dapat memubarkan parlemen dan memerintahkan diadakannya pemilihan umum.
e.    Lamanya masa jabatan kabinet tidak dapat di tentukan dengan pasti.
f.     Kedudukan kepala negara tidak dapat diganggu gugat atau di minta pertanggungjawaban atas jalannya pemerintahan.
Dengan demikian, yang membedakan sistem pemerintahan presidensial dengan parlementer adalah sebagai berikut:
a.    Sistem pemerintahan presindensial yang menjadi kepala negara adalah presiden, sedangkan dalam pemerintahan parlementer yang menjadi kepada negara adalah  presiden atau  raja.
b.    Sistem pemerintahan parlementer, pemerintah bertanggung jawab dan berada di bawah pengawasan parlemen,sedangkan dalam sistem pemerintahan presindensial pemerintah tidak bertnggung jawab kepada parlemen / DPR.
Sejarah sistem pemerintahan parlementer di Indonesia telah dimulai sejak periode berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 yang pertama. Tepatnya sejak dikeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945. Akibatnya, kekuasaan pemerintahan bergeser dari tangan presiden kepada menteri. Menurut Konstitusi RIS, kekuasaan pembentukan perundang-undangan dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR dan senat terhadap undang-undang yang isinya melibatkan beberapa negara/daerah bagian atau antara pemerintah dengan negara/daerah bagian. Untuk undang-undang yang isinya di luar itu, cukup dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR.
Oleh sebab itu, agar suatu undang-undang mempunyai kekuatan mengikat maka harus disetujui oleh DPR dan senat serta disahkan oleh pemerintah. Dalam hal pengesahan ini suatu undang-undang selain ditandatangani oleh presiden juga ditandatangani oleh menteri yang bertanggung jawab terhadap materi undang-undang tersebut. Dengan demikian, pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan senat dalam melaksanakan kekuasaan legislatif harus bekerja sama, Demikian pula pemerintah, dalam melaksanakan kekuasaan pemerintahan harus benar-benar memperhatikan suara Dewan Perwakilan Rakyat.
Mahkamah Agung  berfungsi sebagai penilai masalah penerapan atau pelanggaran hukum dan peradilan tingkat kasasi. Kedudukan Mahkamah Agung sebagai pengadilan federasi tinggi yang berwenang melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan-perbuatan, baik pengadilan federal maupun pengadilan negara/daerah bagian. Di samping itu, Mahkamah Agung berhak memberi nasihat kepada presiden yang berkenaan dengan pemberian grasi atau hukuman yang telah dijatuhkan oleh pengadilan.

D.           MASA BERLAKUNYA UUDS 1950
Negara Federal Republik Indonesia serikat ternyata tidak sesuai dengan cita-cita perjuangan rakyat Indonesia, sehingga Pada 19 Mei 1950, dicapai kesepakatan untuk membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dituangkan dalam sebuah piagam persetujuan.[5]Disebutkan pula bahwa Negara Kesatuan itu akan berdasarkan undang-undang dasar baru yang merupakan gabungan unsur-unsur UUD 1945 dengan Konstitusi RIS yang menghasilkan UUDS 1950. Negara Kesatuan RI secara resmi berdiri pada tanggal 17 Agustus 1950 dan Ir. Soekarno terpilih sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden. Sejak saat itu pula pemerintah menjalankan pemerintahan dengan menggunakan UUDS 1950.
Prinsip-prinsip Sistem Ketatanegaraan yang tercantum dalam UUDS 1950 negara kesatuan antara lain :
1.    Penghapusan senat
2.    DPR Sementara terdiri atas gabungan DPR RIS dan  Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat
3.    DPRS bersama-sama dengan Komite Nasional Pusat disebut Majelis Perubahan Undang-Undang Dasar dengan hak mengadakan perubahan dalam UUD baru dan
4.    Konstituante terdiri dari anggota-anggota yang dipilih melalui Pemilu.
Lembaga-lembaga negara yang ada pada masa berlakunya UUDS yaitu pada periode 17 Agustus 1950- 5 Juli 1959 menurut UUDS pasal 44 lembaga negara yang ada yaitu:
a.    Presiden dan Wakil Presiden
b.    Menteri-menteri
c.    Dewan Perwakilan Rakyat
d.   Mahkamah Agung
e.    Dewan Pengawas Keuangan.

Berdasarkan Pasal 51 UUDS, Presiden menunjuk seorang atau beberapa orang pembentuk kabinet setelah itu sesuai dengan anjuran pembentuk kabinet presiden mengangkat seorang menjadi perdana mentri dan mengangkat menteri-menteri yang lain. Menteri-menteri bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.
Sebagai kepala negara berdasarkan pasal 84 presiden berhak untuk membubarkan DPR.”Kekuasaan legislatif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat”.
Dalam wewenangnya DPR berhak untuk mengajukan usul Undang-undang kepada pemerintah dan berhak mengadakan perubahan-perubahan dalam usul Undang-undang yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR. Apabila akan mengusulkan Undang-undang maka mengirimkan usul itu untuk disahkan oleh pemerintah kepada presiden.
Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan Dewan Pengawas Keuangan. Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi sebagai lembaga yudikatif atau pengawas dari pelaksanaan UUDS, pengangkatan Mahkamah Agung adalah untuk seumur hidup. Mahkamah Agung dapat dipecat atau diberhentikan menurut cara dan ditentukan oleh undang-undang (Pasal 79 Ayat 3 UUDS 1950), selain itu diatur pada pasal yang sama ayat berbeda yaitu ayat 4 disebutkan bahwa ” Mahkamah Agung dapat diberhentikan oleh Presiden atas permintaan sendiri”. Selain sebagai pengawas atas perbuatan pengadilan-pengadilan yang lain, Mahkamah Agung juga memberi nasehat kepada Presiden dalam pemutusan pemberian hak grasi oleh presiden. Pengangkatan anggota DPK seumur hidup, undang-undang menetapakan ketua, wakil ketua dan anggotanya dapat diberhentikan apabila mencapai usia tertentu. DPK dapat diberhentikan oleh presiden atas permintaan sendiri.[6]



BAB III
PENUTUP
A.           KESIMPULAN





DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jumly. 2007. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,
Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.
Asshiddiqie, Jimly. 2003. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD
Tahun  1945,
Budiardjo, Miriam.2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Budiyanto. 2005. Kewarganegaraan. Jakarta: Erlangga.
Hasan, Iqbal.2002. Pokok-pokok Materi Pendidikan Pancasila. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Huda, Ni’matul. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Husada.
Huda, Ni’matul. 2013. Hukum Tata negara indonesia edisi revisi, Jakarta: PT. Raja Grafindo  
Persada.
Lubis, M. Solly. 2000. Perkembangan Garis Politik dan Perundang-Undangan Pemerintah
Daerah.Bandung:Alumni.
Mahfud MD, Moh. 1993. Dasar dan struktur Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta: UII Press.
Syafiie, Inu Kencana.1997. Ilmu Politik. Jakarta: Rineka Cipta






[1] Penjelasan Umum Undang-Undang No. 16 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
[2] Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,PT. Bhuana
Ilmu Populer, Jakarta, 2007, hlm,. 153.
[3] M. Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Pendidikan Pancasila, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002, hlm.77-78
[4] Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun  1945, Makalah Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14—18 Juli 2003, hlm.15

[5] Dr. Moh Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (UII press, Yogyakarta:1993), hlm 109