PRINSIP POKOK NEGARA HUKUM
Dua belas prinsip pokok Negara Hukum yang berlaku di zaman sekarang ini merupakan pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu negara sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sebenarnya. Di samping itu, jika konsep Negara Hukum itu dikaitkan pula dengan paham negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa seperti Indonesia, maka keduabelas prinsip tersebut patut pula ditambah satu prinsip lagi, yaitu: Prinsip Berke-Tuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip kesebelas gagasan Negara Hukum modern
1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law):
Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi
hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman
tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya
pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi
konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Pengakuan normative atas
supremasi hukum tercermin dalam perumusan hukum dan/atau konstitusi, sedangkan
pengakuan empirik tercermin dalam perilaku sebagian terbesar masyarakatnya
bahwa hukum itu memang ‘supreme’. Bahkan, dalam republik yang menganut
sistem presidential yang bersifat murni, konstitusi itulah yang sebenarnya
lebih tepat untuk disebut sebagai ‘kepala negara’. Itu sebabnya, dalam
sistem pemerintahan presidential, tidak dikenal pembedaan antara kepala Negara
dan kepala pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.
2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law):
Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan
pemerintahan, yang diakui secara normative dan dilaksanakan secara empirik.
Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif
dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang,
kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative
actions’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau
kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai
tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan
yang sudah jauh lebih maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan
perlakuan khusus melalui ‘affirmative actions’ yang tidak termasuk
pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing
atau kelompok masyarakat hukum adapt tertentu yang kondisinya terbelakang.
Sedangkan kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus
yang bukan bersifat diskriminatif, misalnya, adalah kaum wanita ataupun
anak-anak terlantar.
3. Asas Legalitas (Due Process of Law):
Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas
legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu segala
tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang
sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis harus ada dan berlaku
lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan.
Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan
atas aturan atau ‘rules and procedures’ (regels). Prinsip normatif
demikian nampaknya sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi lamban.
Karena itu, untuk menjamin ruang gerak para pejabat administrasi negara dalam
menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui pula adanya prinsip ‘frijsermessen’
yang memungkinkan para pejabat administrasi negara mengembangkan dan menetapkan
sendiri ‘beleid-regels’ atau ‘policy rules’ yang berlaku internal
secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan
oleh peraturan yang sah.
4. Pembatasan Kekuasaan:
Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara
dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau
pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan,
setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi
sewenang-wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to
corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu
harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang
yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan
saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga
dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan itu ke dalam beberapa organ yang
tersusun secara vertical. Dengan demikian, kekuasaan tidak tersentralisasi dan
terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya
kesewenang-wenangan.
5. Organ-Organ Eksekutif Yang Bersifat Independen:
Dalam rangka pembatasan kekuasaan tersebut, tidak lagi cukup
bahwa kekuasaan Pemerintah dipisah dan dibagi-bagikan ke dalam beberapa organ
seperti selama ini. Untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan demokratisasi,
terutama sejak akhir abad ke 20, kekuasaan pemerintahan juga semakin dikurangi
dengan dibentuknya berbagai ‘independent body’ seperti Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan bahkan lembaga
tradisional yang sebelumnya melekat sebagai bagian tak terpisahkan dari fungsi
eksekutif, juga dikembangkan menjadi independent seperti Bank Central,
Organisasi Tentara, Kepolisian, dan bahkan di beberapa Negara juga Kejaksaan
dibuat independent, sehingga dalam menjalankan tugas utamanya tidak dipengaruhi
oleh kepentingan politik memereka yang menduduki jabatan politik di
pemerintahan. Di hamper semua negara demokrasi, gejala pertumbuhan badan-badan
independen semacam itu merupakan sesuatu yang niscaya. Di Amerika Serikat
sendiri, lebih dari 30-an badan semacam ini dikembangkan selama abad ke 20, dan
biasa disebut sebagai ‘independent auxiliary state organs’ (lembaga-lembaga
negara yang independent dan bersifat penunjang). Beberapa di antaranya diberi
kewenangan regulatoris sehingga biasa disebut sebagai ‘self regulatory body’.
Di Indonesia, dapat disebut beberapa di antaranya, misalnya Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK), dan
sebagainya.
6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak:
Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent
and impartial judiciary). Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak
harus ada dalam setiap Negara Hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim
tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan
(politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan
kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan
putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan
eksekutif maupun legislative ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa.
Dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga
kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan
tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka,
dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati
nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya
bertindak sebagai ‘mulut’ undang-undang atau peraturan perundang-undangan,
melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup
di tengah-tengah masyarakat.
7. Peradilan Tata Usaha Negara:
Meskipun peradilan tata usaha negara juga menyangkut prinsip
peradilan bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai
pilar utama Negara Hukum tetap perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap Negara
Hukum, harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat
keputusan pejabat administrasi Negara dan dijalankannya putusan hakim tata
usaha negara (administrative court) oleh pejabat administrasi negara.
Pengadilan Tata Usaha Negara ini penting disebut tersendiri, karena dialah yang
menjamin agar warga negara tidak didzalimi oleh keputusan-keputusan para
pejabat administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa. Jika hal itu terjadi,
maka harus ada pengadilan yang menyelesaikan tuntutan keadilan itu bagi warga
Negara, dan harus ada jaminan bahwa putusan hakim tata usaha Negara itu
benar-benar djalankan oleh para pejabat tata usaha Negara yang bersangkutan.
Sudah tentu, keberadaan hakim peradilan tata usaha negara itu sendiri harus
pula dijamin bebas dan tidak memihak sesuai prinsip ‘independent and
impartial judiciary’ tersebut di atas.
8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court):
Di samping adanya Pengadilan Administrasi Negara atau
Pengadilan Tata Usaha Negara (verwaltungsgericht), di lingkungan
negara-negara yang menganut tradisi ‘civil law’, sejak tahun 1920, juga
berkembang adanya Pengadilan Tata Negara (verfassungsgericht). Jika
pengadilan tata usaha negara dapat disebut sebagai fenomena abad ke-19 dan
karena itu dianggap sebagai salah satu ciri penting konsep ‘rechtsstaat’
abad ke-19, maka dengan berkembangnya pengadilan tata negara pada abad ke-20,
adalah wajar pula jika keberadaannya organ baru ini, baik keberadaan
kelembagaannya yang berdiri sendiri ataupun setidaknya dari segi fungsinya
sebagai pengawal konstitusi sebagaimana yang dikaitkan dengan fungsi Mahkamah
Agung Amerika Serikat, juga sebagai ciri konsep negara hukum modern. Jika suatu
negara mengklaim menganut paham Negara Hukum, tetapi tidak tersedia mekanisme
untuk mengontrol konstitusionalitas pembuatan undang-undang ataupun
konstitusionalitas penyelenggaraan demokrasi, maka negara yang bersangkutan
tidak sempurna untuk disebut sebagai Negara Hukum yang demokratis (democratische
rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional
democracy).
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia:
Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi
manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang
adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara
luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak
asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu Negara Hukum yang demokratis.
Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban
yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya Negara dan demikian pula
penyelenggaraan kekuasaan suatu Negara tidak boleh mengurangi arti atau makna
kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. Karena itu, adanya perlindungan
dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia itu merupakan pilar yang sangat
penting dalam setiap Negara yang disebut sebagai Negara Hukum. Jika dalam suatu
Negara, hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan
penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka Negara yang
bersangkutan tidak dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang
sesungguhnya.
10. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat):
Dalam setiap Negara Hukum, dianut dan dipraktekkan adanya
prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peranserta masyarakat
dalam setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan. Dengan adanya peranserta
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan tersebut, setiap peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan dapat diharapkan benar-benar
mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Hukum dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan
diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara
bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena hukum memang tidak
dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa,
melainkan menjamin kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa kecuali.
Artinya, negara hukum (rechtsstaat) yang dikembangkan bukanlah ‘absolute
rechtsstaat’, melainkan ‘democratische rechtsstaat’ atau negara
hukum yang demokratis. Dengan perkataan lain, dalam setiap Negara Hukum yang
bersifat nomokratis harus dijamin adanya demokrasi, sebagaimana di dalam setiap
Negara Demokrasi harus dijamin penyelenggaraannya berdasar atas hukum.
11. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Kesejahteraan
(Welfare Rechtsstaat):
Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan
bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan
negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalaui gagasan
negara hukum (nomocrasy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan
umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam
Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan social. Negara Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan
mencapai keempat tujuan negara Indonesia tersebut. Dengan demikian, pembangunan
negara Indonesia tidak akan terjebak menjadi sekedar ‘rule-driven’,
melainkan tetap ‘mission driven’, tetapi ‘mission driven’ yang
tetap didasarkan atas aturan.
12. Transparansi dan Kontrol Sosial:
Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap
setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan
yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara
komplementer oleh peranserta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung)
dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya partisipasi langsung ini
penting karena sistem perwakilan rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat
diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Karena itulah, prinsip
‘representation in ideas’ dibedakan dari ‘representation in presence’,
karena perwakilan fisik saja belum tentu mencerminkan keterwakilan gagasan atau
aspirasi. Demikian pula dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh aparatur
kepolisian, kejaksaan, pengacara, hakim, dan pejabat lembaga pemasyarakatan,
semuanya memerlukan kontrol sosial agar dapat bekerja dengan efektif, efisien
serta menjamin keadilan dan kebenaran.
13. Berke-Tuhanan Yang Maha Esa:
Negara modern biasanya mengaitkan diri dengan paham
sekularisme yang memisahkan diri dari urusan-urusan keagamaan dan ketuhanan
sama sekali. Negara modern mengaku (claim) mampu bersikap netral dalam
urusan-urusan agama dan keagamaan[2].
Karena itu, dimensi-dimensi ketuhanan lazimnya berada di luar jangkauan kajian
kenegaraan. Akan tetapi, Negara Hukum Indonesia adalah negara hukum yang
berke-Tuhanan Yang Maha Esa. Karena setiap produk hukum Indonesia di samping
harus dibuat dan ditetapkan secara demokratis serta ditegakkan tanpa melanggar
hak-hak asasi manusia, juga mempersyaratkan adanya persesuaiannya dengan ataupun
terbebas dari kemungkinan bertentangan dengan norma-norma agama yang diyakini
oleh para subjek warganegara Indonesia. Hukum Indonesia juga tidak boleh
ditegakkan dengan semena-mena dengan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai
keadilan yang hidup dalam konteks kehidupan umat beragama dalam negara Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
[1] Bandingkan dengan Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum:
Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam,
Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Bulan Bintang,
Jakarta, 1992.
[2] Amerika Serikat juga mengklaim hal yang sama, tetapi
seperti dikemukakan oleh Alexis de Tocqueville, buku karyanya Democracy in
America, A Vintage Book (edisi 1956), aspirasi keagamaan sangat berpengaruh dan
menyumbang banyak dalam pembentukan opini dan aspirasi politik dan bahkan institusi
politik di Amerika Serikat. Lihat laporan de Tocqueville tersebut pada
halaman-halaman 310 – 325.