BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Perkembangan ketatanegaraan dapat di bagi
menjadi beberapa periode,sejak masa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
sampai sekarang. Dalam beberapa periode tersebut, ketatanegaraan Indonesia
mengalami pasang surut seiring dengan perjalanan waktu. Hal tersebut selain
dikarenakan kemerdekaan kita yang mendadak sehingga masih kurangnya persiapan,
juga akibat dari kembalinya belanda yang ingin menjajah dan menguasai Indonesia
lagi.
Sebagai bentuk hukum dasar tertulis UUD 1945
merupakan sumber hukum tertinggi di Indonesia, artinya segala peraturan yang
ada dalam ketatanegaraan haruslah bersumber pada UUD 1945. Sehingga setiap
peraturan yang tidak sesuai dengan UUD, maka peraturan terebut dihapuskan.
Tetapi, ketatanegaraan Indonesia masih berubah-ubah seiring dengan perubahan
konstitusi yang menjadi landasan operasional keberlangsungan berbangsa dan
bernegara itu sendiri. Dalam perubahan tersebut indonesia mengalami beberapa
fase penting dalam ketatanegaraan Indonesia yaitu pada masa UUD 1945 di awal
kemerdekaan, UUD RIS dan UUDS.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
Latar belakang UUD 1945 ?
2.
Bagaimana
pemberlakuan UUD 1945 ?
3.
Bagaimana
dinamika perubahan UUD dari tahun 1945-sekarang ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sistem
Ketatanegaraan Indonesia
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI 1945) pada Pasal 1 Ayat (2)
mengamanatkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar. Selain itu, berdasarkan Pancasila maka dianut pula prinsip
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
Sehingga untuk melaksanakan kedaulatan rakyat
berdasarkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, perlu diwujudkan lembaga perwakilan rakyat dan
lembaga perwakilan daerah yang mampu mengejewantahkan nilai-nilai demokrasi
serta dapat menyerap dan memperjuangakan aspirasi rakyat, termasuk kepentingan
daerah, agar sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan
bernegara.[1]
Amandemen UUD 1945 dilakukan sebanyak 4 tahap
pada periode 1999-2002. Perubahan ini akhirnya berimplikasi juga terhadap
lembaga perwakilan di Indonesia. Sehingga pada era reformasi, terjadi masa
transisi menuju Indonesia baru dengan sistem ketatanegaraan yang sama sekali
berubah secara fundamental dari sistem ketatanegaraan sebelumnya berdasarkan
UUD 1945 yang asali. Salah satu gagasan fundamental yang sudah diadopsi yaitu
anutan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) dengan
segala implikasinya sebagai ganti dari prinsip pembagian kekuasaan
(distribution of Power) yang berlaku sebelumnya
dalam sistematika UUD 1945. Jika sebelumnya ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) UUD
1945 bahwa kekuasaan untuk membentuk perundang-undangan berada di tangan
Presiden dan dilakukan dengan persetujuan DPR, maka dalam perubahan pertama dan
kedua UUD 1945 Pasal 20 ayat (1) kekuasaan untuk membentuk undang-undang (UU)
itu ditegaskan berada ditangan DPR, sedangkan Presiden menurut Pasal 5 ayat (1)
yang baru ditentukan hanya berhak mengajukan rancangan Undang-undang (RUU) kepada
DPR. Perubahan ini menegaskan terjadinya pergeseran kekuasaan legislatif dari
Presiden ke DPR, dengan konsekuensi berubah pula pengertian tentang anutan
prinsip pembagian kekuasaan menjadi pemisahan kekuasaan seperti dipahami selama
ini.[2]
Latar Belakang Amandemen UUD 1945:
1.
Undang-Undang Dasar 1945 membentuk struktur
ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang
sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berkaitan pada tidak
terjadinya checks and balances pada institusi-institusi ketatanegaraan.
2.
Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kekuasaan
yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang
dianut UUD 1945 adalah executive heavy
yaitu kekuasaan dominan berada di tangan
Presiden dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang lazim
disebut hak prerogatif (antara lain: memberi grasi, amnesty, abolisi dan
rehabilitasi) dan kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasaan
membentuk undang-undang.
3.
UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu
“luwes” dan “fleksibel” sehingga menimbulkan lebih dari satu penafsiran
(multitafsir), misalnya Pasal 7 UUD 1945 (sebelum diamandemen).
4.
UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan
kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang.
Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden dapat merumuskan
hal-hal penting sesuai kehendaknya dalam undang-undang.[3]
Tuntutan reformasi melalui perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 telah mengakibatkan
terjadinya perubahan dan sistemketata negaraan Indonesia. Salah satu perubahan
tersebut terjadi pada kelembagaan negara dengan bertambahnya lembaga Dewan
Perwakilan Daerah (selanjutnya disebut DPD). Perubahan Ketiga Undang-Undang
Dasar 1945 yang dilaksanakan pada tahun 2001 dalam Sidang Tahunan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, secara yuridis sebagai dasar
kehadiran lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia yaitu Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia yang diatur dalam Pasal 22C dan Pasal 22D.
Sebagai tindaklanjut dari Pasal 22C dan Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, pengaturan dalam peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan DPD diatur dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Setelah perubahan Keempat UUD 1945,
keberadaan MPR yang selama ini disebut sebagai lembaga tertinggi negara itu
memang telah mengalami perubahan yang sangat mendasar, akan tetapi keberadaannya
tetap ada sehingga sistem yang kita anut tidak dapat disebut sistem bikameral
ataupun satu kamar, melainkan sistem tiga kamar (trikameralisme),
perubahan-perubahan mendasar dalam kerangka struktur parlemen Indonesia itu
memang telah terjadi mengenai hal-hal sebagai berikut.
Pertama, susunan
keanggotaan MPR berubah secara struktural karena dihapuskannya keberadaan
Utusan Golongan yang mencerminkan prinsip perwakilan fungsional (functional
representation) dari unsur ke anggotaan MPR. Dengan demikian, anggota MPR hanya
terdiri atas anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) yang mencerminkan prinsip perwakilan daerah (regional
representatif).
Kedua, bersamaan
dengan perubahan yang bersifat struktural tersebut, fungsi MPR juga mengalami
perubahan mendasar (perubahan fungsional).
Majelis ini tidak lagi berfungsi sebagai ‘supreme body’ yang memilik kewenangan
tertinggi dan tanpa kontrol, dan karena itu kewenangannyapun mengalami
perubahan-perubahan mendasar.[4]
Sebelum diadakannya perubahan UUD, MPR memiliki
6 (enam) kewenangan yaitu:
(a).
menetapkan Undang-Undang Dasar
(b).
Mengubah Undang-Undang Dasar,
(c).
menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara,
(d).
memilih Presiden dan Wakil Presiden,
(e).
meminta dan menilai pertanggungjawaban
Presiden,
Sekarang, setelah diadakannya perubahan UUD
1945, kewenangan MPR berubah menjadi:
(a).
menetapkan Undang-Undang Dasar dan/atau
Perubahan UUD,
(b).
melantik Presiden dan Wakil Presiden,
(c).
memberihentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden,
(d).
menetapkan Presiden dan/atau Wakil Presiden
pengganti sampai terpilihnya Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana
messtinya.
Ketiga, Diadopsinya prinsip
pemisahan kekuasaan (separation of power) secara tegas antara fungsi legislatif
dan eksekutif dalam perubahan pasal 5 ayat (1) juncto pasal 20 ayat (1) dalam
perubahan pertama UUD 1945 yang dipertegas lagi dengan tambahan asal 20 ayat
(5) perubahan kedua UUD 1945.
Dalam
perubahan-perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan membentuk Undang-Undang
berada di tangan DPR, meskipun Presiden sebagai kepala pemerintahan eksekutif
tetap diakui haknya untuk mengajukan sesuatu rancangan Undang-Undang. Dengan
perubahan ini berarti UUD 1945 tidak lagi menganut sistem MPR berdasarkan
prinsip ‘Supremasi parlemen’ dan sistem pembagian kekuasaan (distribution of
power) oleh lembaga tertinggi MPR ke lembaga-lembaga Negara di bawahnya.
Keempat, diadopsinya
prinsip pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam satu paket secara langsung
oleh rakyat dalam ketentuan pasal 6A ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945 yang
sekaligus dimaksud untuk memperkuat dan mempertegas anutan sistem presidensial dalam
UUD 1945.
Dengan
sistem pemilihan langsung oleh rakyat itu, maka konsep dan sistem pertanggung jawaban
Presiden tidak lagi dilakukan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi juga langsung kepada rakyat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
dalam hubungannya dengan pengorganisasian kedaulatan rakyat, kedaulattan yang
ada ditangan rakyat itu, sepanjang menyangkut fungsi legislatif, dilakukan oleh
MPR yang terdiri atas dua kamar dewan, sedangkan dalam bidang eksekutif
dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden sebagai satu paket kepemimpinan
eksekutif yang dipilih langsung oleh
rakyat.
Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang dulu dikenal sebagai lembaga tertinggi negara ,
dimasa depan berubah menjadi nama dari lembaga perwakilan rakyat Indonesia yang
terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah yang secara
bersama-sama kewenangannya sederajat dengan Presiden dan Wakil Presiden, serta
dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
B.
Masa Berlakunya UUD 1945 (Agustus
1945 - Desember 1948)
Pada
masa awal kemerdekaan, pembagian kekuasaan belum berjalan sebagaimana mestinya.
Hal ini disebabkan belum terbentuknya lembaga-lembaga negara seperti yang di
kehendaki UUD 1945. Mengingat keadaan pada masa awal kemerdekaan negara kita
masih berada masa peralihan hukum pemerintahan, pelaksanaan ketatanegaraan
seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945 belum dapat sepenuhnya dilasanakan.
Namun, penjelasan UUD 1945 telah mengantisipasi keadaan itu. Menurut Pasal IV
Aturan peralihan, bahwa sebelum MPR, DPR , dan DPA di bentuk menurut UUD 1945,
segala kekuasaan negara dijalankan oleh presiden dengan bantuan sebuah komite
nasional.
Pada
awal kemerdekaan Indonesia dipimpin oleh Presiden dan wakil presiden, sejak
tanggal 18 Agustus 1945 sampai 16 oktober 1945 segala kekuasaan (eksekutif,
legislatif, dan yudikatif ) dijalankan oleh satu badan atau lembaga, yaitu
presiden dibantu oleh KNIP. Sehingga pada masa itu dapat dikatakan belum adanya
pembagian kekuasaan pembagian kekuasaan. Oleh karena belum terbentuknya MPR dan
DPR, oleh karena itu wakil presiden mengeluarkan Maklumat Wapres No. X pada
tanggal 16 Oktober 1945 yang berisi bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif.
Melaui maklumat ini telah terjadi pembagian kekuasaan, meskipun presiden masih
memegang sebagian besar kekuasaan namun, kewenangan legislatif telah diberikan
pada KNIP.
Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP): 1945-1949 atau KNIP merupakan badan pembantu
Presiden yang pembentukannya di dasarkan pada keputusan sidang Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18 Agustus 1945. KNIP merupakan
pengembangan dari Komite Nasional Indonesia( KNI) dilantik oleh Presiden
Soekarno pada tanggal 29 Agustus 1945 yang beranggotakan 137 orang (terdiri
dari tokoh masyarakat dan anggota PPKI). KNIP yang semula berfungsi sebagai
pembantu presiden, kemudian berubah melaksanakan tugas legislatif berdasarkan
Maklumat Wapres No. X yang berbunyi : “Bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat,
sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat, diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis Besar Haluan
Negara, serta menyetujui bahwa pekerjaan KNI Pusat sehari-hari, berhubungan
dengan gentingnya keadaan, dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih di
antara mereka dan yang bertanggung jawab kepada KNIP. Sejak proklamasi
kemerdekaan sampai pulihnya kembali NKRI tanggal 17 Agustus 1950, Badan Pekerja
Komite Nasional Indonesia dan Komite Nasional sendiri telah menyetujui 133
Rancangan Undang-undang, diantaranya yang terpenting adalah Undang-Undang No.11
tahun 1949 tentang pengesahan Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
C.
Periode Konstitusi Republik Indonesia
Serikat ( RIS ) 1949
Akibat dari Belanda berusaha memecah
belah bangsa Indonesia dengan cara membentuk negaranegara ”boneka” seperti
Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, dan Negara Jawa
Timur di dalam negara RepubIik Indonesia. Bahkan, kemudian Belanda melakukan
agresi Militer I pada tahun 1947 dan Agresi Militer II atas kota Yogyakarta
pada tahun 1948. Dan untuk menyelesaikan pertikaian Belanda dengan RepubIik
Indonesia, Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) turun tangan dengan
menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag (Belanda) tanggal 23
Agustus – 2 November 1949. Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil dari
RepubIik Indonesia, BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg, yaitu gabungan
negara-negara boneka yang dibentuk Belanda), dan Belanda serta sebuah komisi
PBB untuk Indonesia.
KMB tersebut menghasilkan tiga buah
persetujuan pokok yaitu:
1. Didirikannya Negara Rebublik
Indonesia Serikat
2. Penyerahan kedaulatan kepada
Republik Indonesia Serikat
3. Didirikan uni antara RIS dengan
Kerajaan Belanda.
Sehingga
wilayah negara Indonesia menyusut menjadi Pulau Jawa dan Sumatra saja, seta
Ibukota berpindah ke Jogjakarta, dan Indonesia masuk sebagai salah satu negara
boneka belanda sehingga Republik Indonesia berganti menjadi Republik Indonesia
Serikat.
Dengan
perubahan tersebut maka sumber hukum kita yang tadinya UUD 1945 berubah atau
berganti menjadi UUD RIS dan sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem
pemerintahan parlementer. Pada sistem ini, Kabinet bertanggung jawab kepada
parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat ), dan apabila pertanggungjawaban itu tidak
diterima oleh Dewan Perwakilam Rakyat maka dapat menyababkan bubarnya kabinet.
Jadi, kedudukan kabinet bergantung kepada DPR.
Sistem
pemerintahan parlementer mempunyai ciri-ciri pokok berikut ini:
a. Perdana menteri bersama para menteri
baik secara bersama ataupun sendiri-sendiri bertangggung jawab kepada parlemen.
b. Pembentukan kabinet didasarkan pada
kekuatan-kekuatan yang ada dalam parlemen.
c. Para anggota kabinet mungkin seluruhnya
atau sebagian mencerminkan kekuatan yang ada dalam parlemen.
d. Kabinet dapat dijatuhkan setiap saat
oleh parlemen dan sebaliknya kepala negara dengan saran perdana menteri dapat
memubarkan parlemen dan memerintahkan diadakannya pemilihan umum.
e. Lamanya masa jabatan kabinet tidak
dapat di tentukan dengan pasti.
f. Kedudukan kepala negara tidak dapat
diganggu gugat atau di minta pertanggungjawaban atas jalannya pemerintahan.
Dengan demikian, yang membedakan
sistem pemerintahan presidensial dengan parlementer adalah sebagai berikut:
a. Sistem pemerintahan presindensial
yang menjadi kepala negara adalah presiden, sedangkan dalam pemerintahan
parlementer yang menjadi kepada negara adalah presiden atau raja.
b. Sistem pemerintahan parlementer,
pemerintah bertanggung jawab dan berada di bawah pengawasan parlemen,sedangkan
dalam sistem pemerintahan presindensial pemerintah tidak bertnggung jawab
kepada parlemen / DPR.
Sejarah
sistem pemerintahan parlementer di Indonesia telah dimulai sejak periode
berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 yang pertama. Tepatnya sejak dikeluarkan
Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945. Akibatnya, kekuasaan pemerintahan
bergeser dari tangan presiden kepada menteri. Menurut Konstitusi RIS, kekuasaan
pembentukan perundang-undangan dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan
DPR dan senat terhadap undang-undang yang isinya melibatkan beberapa
negara/daerah bagian atau antara pemerintah dengan negara/daerah bagian. Untuk
undang-undang yang isinya di luar itu, cukup dilakukan oleh pemerintah
bersama-sama dengan DPR.
Oleh sebab
itu, agar suatu undang-undang mempunyai kekuatan mengikat maka harus disetujui
oleh DPR dan senat serta disahkan oleh pemerintah. Dalam hal pengesahan ini
suatu undang-undang selain ditandatangani oleh presiden juga ditandatangani
oleh menteri yang bertanggung jawab terhadap materi undang-undang tersebut.
Dengan demikian, pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan senat dalam
melaksanakan kekuasaan legislatif harus bekerja sama, Demikian pula pemerintah,
dalam melaksanakan kekuasaan pemerintahan harus benar-benar memperhatikan suara
Dewan Perwakilan Rakyat.
Mahkamah
Agung berfungsi sebagai penilai masalah penerapan atau pelanggaran hukum
dan peradilan tingkat kasasi. Kedudukan Mahkamah Agung sebagai pengadilan
federasi tinggi yang berwenang melakukan pengawasan tertinggi atas
perbuatan-perbuatan, baik pengadilan federal maupun pengadilan negara/daerah
bagian. Di samping itu, Mahkamah Agung berhak memberi nasihat kepada presiden
yang berkenaan dengan pemberian grasi atau hukuman yang telah dijatuhkan oleh
pengadilan.
D.
MASA BERLAKUNYA UUDS 1950
Negara Federal Republik Indonesia serikat ternyata tidak
sesuai dengan cita-cita perjuangan rakyat Indonesia, sehingga Pada 19 Mei 1950,
dicapai kesepakatan untuk membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang dituangkan dalam sebuah piagam persetujuan.[5]Disebutkan
pula bahwa Negara Kesatuan itu akan berdasarkan undang-undang dasar baru yang
merupakan gabungan unsur-unsur UUD 1945 dengan Konstitusi RIS yang menghasilkan
UUDS 1950. Negara Kesatuan RI secara resmi berdiri pada tanggal 17 Agustus 1950
dan Ir. Soekarno terpilih sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai
Wakil Presiden. Sejak saat itu pula pemerintah menjalankan pemerintahan dengan
menggunakan UUDS 1950.
Prinsip-prinsip Sistem Ketatanegaraan yang tercantum dalam
UUDS 1950 negara kesatuan antara lain :
1. Penghapusan senat
2. DPR Sementara terdiri atas gabungan
DPR RIS dan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat
3. DPRS bersama-sama dengan Komite
Nasional Pusat disebut Majelis Perubahan Undang-Undang Dasar dengan hak
mengadakan perubahan dalam UUD baru dan
4. Konstituante terdiri dari
anggota-anggota yang dipilih melalui Pemilu.
Lembaga-lembaga
negara yang ada pada masa berlakunya UUDS yaitu pada periode 17 Agustus 1950- 5
Juli 1959 menurut UUDS pasal 44 lembaga negara yang ada yaitu:
a. Presiden dan Wakil Presiden
b. Menteri-menteri
c. Dewan Perwakilan Rakyat
d. Mahkamah Agung
e. Dewan Pengawas Keuangan.
Berdasarkan
Pasal 51 UUDS, Presiden menunjuk seorang atau beberapa orang pembentuk kabinet
setelah itu sesuai dengan anjuran pembentuk kabinet presiden mengangkat seorang
menjadi perdana mentri dan mengangkat menteri-menteri yang lain.
Menteri-menteri bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik
bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya
sendiri-sendiri.
Sebagai
kepala negara berdasarkan pasal 84 presiden berhak untuk membubarkan
DPR.”Kekuasaan legislatif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat”.
Dalam
wewenangnya DPR berhak untuk mengajukan usul Undang-undang kepada pemerintah
dan berhak mengadakan perubahan-perubahan dalam usul Undang-undang yang
diajukan oleh pemerintah kepada DPR. Apabila akan mengusulkan Undang-undang
maka mengirimkan usul itu untuk disahkan oleh pemerintah kepada presiden.
Kekuasaan
yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan Dewan Pengawas Keuangan. Mahkamah
Agung adalah pengadilan negara tertinggi sebagai lembaga yudikatif atau
pengawas dari pelaksanaan UUDS, pengangkatan Mahkamah Agung adalah untuk seumur
hidup. Mahkamah Agung dapat dipecat atau diberhentikan menurut cara dan
ditentukan oleh undang-undang (Pasal 79 Ayat 3 UUDS 1950), selain itu diatur
pada pasal yang sama ayat berbeda yaitu ayat 4 disebutkan bahwa ” Mahkamah
Agung dapat diberhentikan oleh Presiden atas permintaan sendiri”. Selain
sebagai pengawas atas perbuatan pengadilan-pengadilan yang lain, Mahkamah Agung
juga memberi nasehat kepada Presiden dalam pemutusan pemberian hak grasi oleh
presiden. Pengangkatan anggota DPK seumur hidup, undang-undang menetapakan
ketua, wakil ketua dan anggotanya dapat diberhentikan apabila mencapai usia
tertentu. DPK dapat diberhentikan oleh presiden atas permintaan sendiri.[6]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
DAFTAR
PUSTAKA
Asshiddiqie, Jumly.
2007. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,
Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.
Asshiddiqie, Jimly. 2003. Struktur
Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD
Tahun 1945,
Budiardjo,
Miriam.2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Budiyanto.
2005. Kewarganegaraan. Jakarta: Erlangga.
Hasan,
Iqbal.2002. Pokok-pokok Materi Pendidikan Pancasila. Jakarta: PT Raja
Grafindo
Persada.
Huda,
Ni’matul. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo
Husada.
Huda,
Ni’matul. 2013. Hukum Tata negara indonesia edisi revisi, Jakarta: PT.
Raja Grafindo
Persada.
Lubis,
M. Solly. 2000. Perkembangan Garis Politik dan Perundang-Undangan Pemerintah
Daerah.Bandung:Alumni.
Mahfud
MD, Moh. 1993. Dasar dan struktur Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta:
UII Press.
Syafiie,
Inu Kencana.1997. Ilmu Politik. Jakarta: Rineka Cipta
http://jhimie08.blogspot.co.id/2013/06/makalah-amandemen-uud-1945.html di akses tanggal 18 juni 2013
http://coonkrinkcelotehmiring.blogspot.com/2011/10/ketatanegaraan-indonesia-pada-masa.html diakses pada 15 November
2013
[1]
Penjelasan Umum Undang-Undang No. 16 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Ilmu Populer,
Jakarta, 2007, hlm,. 153.
[3]
M. Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Pendidikan
Pancasila, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002, hlm.77-78
[4]
Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan
Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah Penegakan Hukum dalam Era
Pembangunan Berkelanjutan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman
dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14—18 Juli 2003, hlm.15
[5] Dr. Moh Mahfud
MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (UII press, Yogyakarta:1993),
hlm 109
[6] http://coonkrinkcelotehmiring.blogspot.com/2011/10/ketatanegaraan-indonesia-pada-masa.html diakses pada 15 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar